Makalah
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
( KDRT )
DI SUSUN
O
L
E
H
SELAMAT
ARIGA
NIM:150104030
MK : SOSIOLOGI HUKUM
HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI AR-RANIRY BANDA ACEH
1438 H / 2016 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat
yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Sebuah keluarga disebut
harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan
tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan
(fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut
disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri
maupun orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga
atau rumah tangga. Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya
masing-masing. Ada keluarga yang masalah diselesaikan secara baik dan sehat.
Adapula keluarga yang Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang
berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan,
teriakan dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul
perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik.
Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT).
Dan faktanya Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan
data Komnas Perempuan, pada tahun 2012, sedikitnya ada 8.315 kasus dalam
setahun. Jumlah itu mengalami peningkatan di tahun 2013 yang mencapai 11.719
kasus atau naik 3.404 kasus dari tahun sebelumnya. Dan pada tahun 2014,
terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 68 persen dari
kasus tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas
korban ibu rumah tangga.
Maka dari itu, Penulis mengambil judul kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) supaya pembaca dapat memahami pengertian, bentuk, faktor,dampak,
cara penaggulangan, dan kasus kekerasan
dalam rumah tangga diindonesia dan aceh serta
hukum yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga dalam pandangan
sosiologi.
B. Rumusan
1.
Apakah yangdi maksud
dengan kekerasan dalam rumah tangga ?
2.
Apakah faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga ?
3. Bagaimana pandangan sosiologi hukum terhadap kekerasan
dalam rumah tangga ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan
Dalam Bahasa Inggris, yang lebih lazim dipakai oleh orang Indonesia disebut “Violence”. Istilah violence berasal dari dua kata bahasa latin: vis yang berarti daya atau kekuatan dan latus (bentuk perfektum dari kata kerja ferre yang berarti (telah) membawa. Maka, secara harfiah violence
berarti membawa kekuatan, daya dan paksaan.
Kekerasan
menurut Johan Galtung, menyebutkan bahwa kekerasan adalah suatu perlakuan atau
situasi yang menyebabkan realitas aktual seseorang ada di bawah realitas
potensialnya. kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku baik verbal
maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap
orang lain, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional dan
psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya. [1]
Menurut
pasal 89 KUHP, melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga dan kekuatan
jasmani tidak kecil secara yang tidak sah misalnya memukul dengan tangan atau
dengan segala macam senjata, menepak, menendang dan sebagainya.[2]
Kekerasan
dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[3]
B. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Kekerasan
fisik
Kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah
menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut
dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan
ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka
lainnya.
2. Kekerasan
psikologis / emosional
Kekerasan
psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku
kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir
istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak.
3. Kekerasan
seksual
Kekerasan
jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan
kepuasan pihak istri.
4. Kekerasan
ekonomi
Setiap orang
dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Misalnya tidak member nafkah, memaksa pasangan untuk prostitusi, mengetatkan
istri dalam keuangan rumah tangga.
C. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur
masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga (marital violence) sebagai berikut:
1.
Pembelaan atas
kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,
sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2.
Diskriminasi
dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami
kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3.
Beban
pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh
anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami
akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4.
Wanita sebagai
anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan
keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban
wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai
seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5.
Orientasi
peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan
oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian
kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh
penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan
sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Untuk
menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara
penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
1)
Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan
berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak
terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
2)
Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam
sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang
terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga
dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
3)
Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan
istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di
dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua
belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah
tangga.
4)
Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling
menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga
dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka
mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka
yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang
kadang juga berlebih-lebihan.
5)
Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun
keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi
apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam
keluarga dapat diatasi dengan baik.
E. Dampak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Karena kekerasan sebagaimana
tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan
ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak
kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:
- Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
- Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
- Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
- Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.
Dalam konteks Indonesia, kondisi
dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil
hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi
kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri
sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban.
Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal
31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah
tangga. Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan.
Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana
yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau
dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351
s.d. 355 KUHP.
Undang-Undang tentang Kekerasan
dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan
perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
- UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya.
- UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
- UU 1/1974 tentang Perkawinan.
- UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
- UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Konsekuensi
logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan
di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat
pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur
tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan
sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam undang undang ini
lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran
perlindungan hukum undang-undang ini.
Permasalahan
yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa keengganan
seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang
berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan
tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara,
masa depan anak-anak terancam dan lain-lain.Dengan kondisi
seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan
penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilan
maksimal.
Oleh karena
itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir
dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU
PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi
negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara,
dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh
lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya
masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.
G. Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga di Indonesia dan
Aceh
1) KDRT di Indonesia
Kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Peningkatan itu disebabkan oleh berbagai faktor. Berdasarkan
data Komnas Perempuan, pada tahun 2012, sedikitnya ada 8.315 kasus dalam
setahun. Jumlah itu mengalami peningkatan di tahun 2013 yang mencapai 11.719
kasus atau naik 3.404 kasus dari tahun sebelumnya. Dan pada tahun 2014,
terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 68 persen dari
kasus tersebut adalah kekerasan rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas korban ibu
rumah tangga. Komisi Nasional Perempuan mencatat di tingkat
nasional jumlah korban kekerasan terhadap perempuan terutama KDRT pada akhir
tahun 2015 tercatat lebih dari 305.535 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak
69 persen dikarenakan KDRT. Bentuk kekerasan tertingga adalah fisik lalu
kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Dari
data akhir tahun Komnas Perempuan 2016, menurut kategori PA (n=305.535),
penyebab perceraian diakibatkan karena ketidak harmonisan (97,418), gangguan
pihak ketiga (21,474) dan tidak ada tanggungjawab (73,996), ekonomi (66.024),
politis (2,057), cacat biologi (802), kekejaman mental (1,059), kekejaman
jasmani (5,272), kawin dibawah umur (1,131), kawain paksa (2,257),
cemburu (5,680), krisis akhlak (10,541) dan poligama tidak sehat
(7,476). [4]
2. KDRT di Aceh
Menurut
informasi yang disampaikan Sekretaris BP3A Provonsi Aceh, T. Syarbaini, Senin
(9/5), kasus KDRT tersebut masih menjadi nomor satu di wilayah serambi mekkah
ini. Karena terjadinya kekerasan dalam rumah tangga maka imbasnya adalah
terhadap anak. Kasus kekerasan terhadap
perempuan, khususnya di dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan seksual
terhadap anak, dilaporkan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
“Berdasarkan
data yang kami himpun dari seluruh kabupaten/kota di Aceh, jumlah kasus
kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual terhadap anak kini semakin
meningkat,” kata Kepala Badan Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(BP3A) Aceh, Dahlia MAg kepada Serambi, Selasa (6/5), di Meulaboh.
KDRT
disebutkannya, pada tahun 2009 tercatat sebanyak 431 kasus, 2010 menjadi 766
kasus, dan 2011-2012 menjadi 1.956 kasus. “Tahun 2013 kita belum menerima data
konkret karena masih dihimpun, tetapi diprediksikan semakin meningkat,” . Sementara
terhadap kasus pelecehan seksual pada anak, dari 278 kasus di tahun 2009
meningkat menjadi 311 kasus di 2010, dan naik menjadi 468 kasus pada tahun
2011-2012. Tahun 2013 diprediksinya juga akan mengalami peningkatan.[5]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga) adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang dalam lingkungan keluarga yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Tindakan
kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan pencegahan secara dini, Pendidikan
agama dan pengamalan ajaran agama di rumah tangga merupakan kunci sukses untuk
mencegah terjadinya KDRT.
Amalkan
sebuah pepatah “Rumahku Istanaku”. Betapapun keadaannya sebuah rumah, maka
rumah harus menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan, kedamaian,
perlindungan, dan kebahagian kepada seluruh anggota keluarga.
B.
SARAN
Harapan penulis, semoga dengan
adanya makalah yang bertemakan “ Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) ”
ini, Kita dapat memahami pengertian, bentuk, faktor,dampak, cara penaggulangan,
dan kasus kekerasan dalam rumah tangga
diindonesia dan aceh serta kita dapat mengetahui hukum yang mengatur kekerasan dalam rumah
tangga dan juga dalam pandangan sosiologinya. sebagai sarana kita menghindari
kasus Kekerasan dalam Rumah
Tangga dilingkunan keluarga kita , masa
depan kita nantinya, juga
dilingkungan masarakat kita saaat ini.
Kurang dan lebihhnya penulis
memohon maaf ! Thanks, Wassalam