Kamis, 10 November 2016

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DALAM PANDANGAN SOSIOLOGI HUKUM



Makalah
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
( KDRT )

DI SUSUN
O
L
E
H


SELAMAT ARIGA
NIM:150104030
MK : SOSIOLOGI HUKUM
HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI AR-RANIRY BANDA ACEH
1438 H / 2016 M







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya. 
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Ada keluarga yang masalah diselesaikan secara baik dan sehat. Adapula keluarga yang Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Dan faktanya Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada tahun 2012, sedikitnya ada 8.315 kasus dalam setahun. Jumlah itu mengalami peningkatan di tahun 2013 yang mencapai 11.719 kasus atau naik 3.404 kasus dari tahun sebelumnya. Dan pada tahun 2014, terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 68 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas korban ibu rumah tangga.
Maka dari itu,  Penulis mengambil judul kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) supaya pembaca dapat memahami pengertian, bentuk, faktor,dampak, cara penaggulangan, dan   kasus kekerasan dalam rumah tangga diindonesia dan aceh serta  hukum yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga dalam pandangan sosiologi.
B.     Rumusan
1.      Apakah yangdi maksud  dengan kekerasan dalam rumah tangga ?
2.      Apakah faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga ?
3.    Bagaimana pandangan sosiologi hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan Dalam Bahasa Inggris, yang lebih lazim dipakai oleh orang Indonesia disebut “Violence”. Istilah violence berasal dari dua kata bahasa latin: vis yang berarti daya atau kekuatan dan latus (bentuk perfektum dari kata kerja ferre yang berarti (telah) membawa. Maka, secara harfiah violence berarti membawa kekuatan, daya dan paksaan.
Kekerasan menurut Johan Galtung, menyebutkan bahwa kekerasan adalah suatu perlakuan atau situasi yang menyebabkan realitas aktual seseorang ada di bawah realitas potensialnya. kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku baik verbal maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya. [1]
Menurut pasal 89 KUHP, melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga dan kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menepak, menendang dan sebagainya.[2]
Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[3]

B.     Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1.      Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.


2.      Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
3.      Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4.      Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Misalnya tidak member nafkah, memaksa pasangan untuk prostitusi, mengetatkan istri dalam keuangan rumah tangga.

C.    Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
1.      Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2.      Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3.      Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.  Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4.      Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.  Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5.      Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup.  Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

D.    Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
1)      Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
2)      Harus  tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
3)      Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
4)      Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
5)      Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

E.     Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:
  1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
  2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
  3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
  4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.
Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP.
Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
  1. UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya.
  2. UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  3. UU 1/1974 tentang Perkawinan.
  4. UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
  5. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain.Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.
Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.

G.    Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga di Indonesia dan Aceh
1)      KDRT di Indonesia
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan itu disebabkan oleh berbagai faktor. Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada tahun 2012, sedikitnya ada 8.315 kasus dalam setahun. Jumlah itu mengalami peningkatan di tahun 2013 yang mencapai 11.719 kasus atau naik 3.404 kasus dari tahun sebelumnya. Dan pada tahun 2014, terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 68 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas korban ibu rumah tangga. Komisi Nasional Perempuan mencatat di tingkat nasional jumlah korban kekerasan terhadap perempuan terutama KDRT pada akhir tahun 2015 tercatat lebih dari 305.535 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 69 persen dikarenakan KDRT. Bentuk kekerasan tertingga adalah fisik lalu kekerasan seksual dalam rumah tangga. 
Dari data akhir tahun Komnas Perempuan 2016, menurut kategori PA (n=305.535), penyebab perceraian diakibatkan karena ketidak harmonisan (97,418), gangguan pihak ketiga (21,474) dan tidak ada tanggungjawab (73,996), ekonomi (66.024), politis (2,057), cacat biologi (802), kekejaman mental (1,059), kekejaman jasmani (5,272), kawin dibawah umur (1,131), kawain paksa (2,257),  cemburu (5,680), krisis akhlak (10,541) dan poligama tidak sehat (7,476). [4]

2. KDRT di Aceh
Menurut informasi yang disampaikan Sekretaris BP3A Provonsi Aceh, T. Syarbaini, Senin (9/5), kasus KDRT tersebut masih menjadi nomor satu di wilayah serambi mekkah ini. Karena terjadinya kekerasan dalam rumah tangga maka imbasnya adalah terhadap anak.  Kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya di dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan seksual terhadap anak, dilaporkan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
“Berdasarkan data yang kami himpun dari seluruh kabupaten/kota di Aceh, jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual terhadap anak kini semakin meningkat,” kata Kepala Badan Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh, Dahlia MAg kepada Serambi, Selasa (6/5), di Meulaboh.
KDRT disebutkannya, pada tahun 2009 tercatat sebanyak 431 kasus, 2010 menjadi 766 kasus, dan 2011-2012 menjadi 1.956 kasus. “Tahun 2013 kita belum menerima data konkret karena masih dihimpun, tetapi diprediksikan semakin meningkat,” . Sementara terhadap kasus pelecehan seksual pada anak, dari 278 kasus di tahun 2009 meningkat menjadi 311 kasus di 2010, dan naik menjadi 468 kasus pada tahun 2011-2012. Tahun 2013 diprediksinya juga akan mengalami peningkatan.[5]

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) adalah  setiap perbuatan terhadap seseorang dalam lingkungan keluarga yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan pencegahan secara dini, Pendidikan agama dan pengamalan ajaran agama di rumah tangga merupakan kunci sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.
Amalkan sebuah pepatah “Rumahku Istanaku”. Betapapun keadaannya sebuah rumah, maka rumah harus menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan, kedamaian, perlindungan, dan kebahagian kepada seluruh anggota keluarga.

B.     SARAN
Harapan penulis, semoga dengan adanya makalah yang bertemakan “ Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) ” ini, Kita dapat memahami pengertian, bentuk, faktor,dampak, cara penaggulangan, dan   kasus kekerasan dalam rumah tangga diindonesia dan aceh serta kita dapat mengetahui  hukum yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga dan juga dalam pandangan sosiologinya. sebagai sarana kita menghindari kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga  dilingkunan keluarga kita , masa depan kita nantinya,  juga dilingkungan  masarakat kita saaat ini.

Kurang dan lebihhnya penulis memohon maaf ! Thanks, Wassalam






[1]  seorang sosiolog Norwegia., Johan Galtung (1930), Windhu, 92: 11
[2] KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
[3] UU No. 23 Tahun 2004
[4] http://m.timesindonesia.co.id/read/132018/20160904/002411/kasus-kdrt-di-indonesia-terus-meningkat/#!