Rabu, 29 April 2020

HUBUNGAN HADIST DENGAN AL-QURAN OLEH SELAMAT ARIGA ( MAHASISWA PASCA SARJANA UIN AR-RANIRY BANDA ACEH)


Makalah Ilmu Hadist



HUBUNGAN HADIST DENGAN AL-QURAN



DI SUSUN

O

L

E

H

SELAMAT ARIGA




HUKUM KELUARGA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI AR-RANIRY BANDA ACEH

1441 H / 2019 M



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Ilmu Hadist tentang “Hubungan Hadist Dengan Al-Quran” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Ilmu Hadist tentang “Hubungan Hadist Dengan Al-Quran”. Disamping itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengasuh matakuliah ini dan semua pihak yang telah membantu selama pembuatan makalan ini berlangsung sehingga dapat terselesaikan dan terealisasikan makalah ini dengan baik.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat kekurangan.


Banda Aceh , 17 Oktober 2019
Penulis

Selamat Ariga., 




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW, yang tertuntun wahyu (al-Qur’an), sehinga kedudukan hadits dalam khazanah sumber hukum Islam menjadi sesuatu yang tidak dapat di pisahkan dari sumber Islam yang pertama yakni al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa setelah kitab suci al-Qur’an, sebagai sumber Islam yang kedua adalah hadis. Oleh karena itu, sebagai umat Islam harus dapat mempelajari dan berusaha untuk melaksanakan segala sesuatu yang ada di dalam hadits tersebut. Apalagi di dalamnya banyak terdapat petunjuk, perintah, maupun larangan dari Rasulullah Muhammad SAW.
Di samping itu, kehadiran hadits sebagai sumber ajaran Islam yang kedua dan tampil untuk menjelaskan (bayan) keseluruhan isi al-Qur’an kaum muslim sepakat bahwa hadits merupakan hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Hal ini berdasarkan kepada kesimpulan yang diperoleh dari dalil-dalil yang memberi petunjuk tentang kedudukan dan fungsi hadits, maka dengan demikian kewajiban umat Islam harus dijadikan hukum (hujjah) dalam melaksanakan perintah al-Qur’an yang masih ijma’ dan hadits sebagai penjelas untuk melaksanakannya yaitu melaksanakan apa yang di contohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW berarti mentaati perintah Allah.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah tertera di atas dapat mengambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Apa fungsi hadist terhadap Al-Quran ?
2.    Bagaimana menurut pendapat ulama’ tentang bayan al-Taqrir ?
3.    Bagimana eksistensi hadist terhadap Al-quran ?

C.Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah tertera di atas dapat mengambil beberapa tujuan penulisan makalah ini diantaranya sebagai berikut :
1.    Untuk mengetahui apa fungsi hadist terhadap Al-Quran ?
2.    Untuk mengetahui bagaimana menurut pendapat ulama’ tentang bayan al-Taqrir ?
3.    Untuk mengetahui bagimana eksistensi hadist terhadap Al-quran ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kedudukan Hadith Terhadap Al-Qur’an
hubungan hadis dengan al-qur’an – Allah SWT menutup risalah samawiyah dengan risalah islam. Dia mengutus Nabi SAW. Sebagai Rasul yang memberikan petunjuk, menurunkan Al-qur`an kepadanya yang merupakan mukjizat terbesar dan hujjah teragung, dan memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan dan menjelaskannya. 
Pada masa Rasulullah SAW. Tidak ada sumber hukum selain Al-kitab dan As-sunnah. Di dalam Al-qur’an terdapat pokok-pokok yang bersifat umum bagi hukum-hukum syari’at, tanpa pemaparan rincian keseluruhannya dan pencabangannya, kecuali yang sejalan dengan pokok-pokok yang bersifat umum itu yang tidak pernah berubah oleh bergulirnya waktu dan tidak berkembang lantaran keragaman manusia di lingkungan dan tradisi masing-masing. Secara global, sunnah sejalan dengan Al-qur’an, menjelaskan yang mubham, merinci yang mujmal, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan menguraikan hukum-hukum dan tujuan-tujuannya. Di samping mebawa hukum-hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh Al-qur’an yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya.[1] 
Hubungan hadis dengan al-qur’an – Dalam hukum Islam, Hadith menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur`an . penetapan Hadith sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu Al qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al qur`an menunjuk nabi sebagai orang yang harus menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan Allah, karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani kaum muslimin sejak masa sahabat sampai hari ini telah bersepakat untuk menetapkan hukum berdasarkan sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadith sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-qur`an hanya memberikan garis- garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadith sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima. 
Al-qur’an dan Hadith merupakan dua sumber hukum syari’at Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syri’at Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut.[2] Al qur`an dan hadith merupakan rujukan yang pasti dan tetap bagi segala macam perselisihan yang timbul di kalangan umat islam sehingga tidak melahirkan pertentangan dan permusuhan. Apabila perselisihan telah dikembalikan kepada ayat dan hadith, maka walaupun masih terdapat perbedaan dalam penafsirannya, umat Islam seyogyanya menghargai perbedaan tersebut.
Sebagaimana sering disebutkan bahwa Hadith merupakan catatan kehidupan Rasulullah, maka teori besarnya, hadith berfungsi menjelaskan atau menjadi contoh bagaimana melaksanakan ajaran Al-qur’an. Kalau Al-qur’an itu bersifat konsep, maka hadith lebih bersifat operasional dan praktis.[3] 
Dari pandangan umum, Al-qur’an dan Sunnah merupakan dua sumber Islam. Al-qur’an yang didahulukan sedangkan As-Sunnah melengkapinya, menerangkan dan menjelaskan apa yang sulit dipahami manusia. [4] Nabi Muhammad memberikan petunjuk melalui Hadith-nya dan memberikan contoh untuk diikuti. Umat Muslim memandangnya sebagai suri teladan bagi Islam dan ajaran-ajaranya tidak dapat dipisahkan dari ajaran-ajaran Al-qur’an. 

B. Hubungan Hadis Dengan Al-Qur’an Dan Fungsinya
Hubungan hadis dengan al-qur’an – Al-qur’an dan Hadith sebagai pedoman hidup, sumber hujum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itulah kehadiran Hadith, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-qur’an tersebut.[5]
Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. 
Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak antara lain: 
1.      Bayan al-Taqrir
Bayan al-Taqrir di sebut juga dengan bayan al-Ta’qid dan bayan al-Isbat. Yang dimaksud bayan ini ialah, menetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan di dalam al-Qur’an, fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi sebagai berikut :

فاذا رايتم الهلا ل فصو مو اواذا رايتموه فأفطروا (رواه مسلم)
“Apabila kalian melihat (Ru’yah) bulan maka berpuasalah, juga apabila melihat (Ru’yah) itu maka berbukalah”. (HR. Muslim)
Hadits ini datang mentaqrir ayat al-Qur’an di bawah ini :

فمن شهد منكم الشّهر فليصمه ( البقرة ٢ : ١٨٥)
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpusa”. (QS. Al-Baqarah (2) : 185)
Contoh lain, hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi sebagai berikut :
قال رسول الّله صلّى اللّه عليه وسلّم لاتقبّل صلاة من احدث حتّى يتوضع (رواه البخارى)
“Rasulullah SAW telah bersabda : tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudlu”. (HR. Bukhari)
Hadits ini mentaqrir QS. Al-Maidah (5) : 6 mengenai keharusan berwudlu ketika seseorang akan mendirikan shalat, ayat yang dimaksud berbunyi :

يأ ايّها الّذ ين أمنوا إذا قمتم إلى الصّلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برءسكم وأرجلكم إلى الكعبين (المائده ٥ : ٦ )
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basulah) kakimu sampai dengan mata kaki”. (QS. Al-Maidah (5) : 6)
Juga hadits Rasulullah SAW tentang dasar-dasar Islam yang diriwayatkan Ibnu Umar yang berbunyi :

قال رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم بني الاسلام على خمس شهادة انّ لااله الّااللّه وانّ محمدارسول اللّه وإقام الصّلاة وايتاء لزّكاة والحجّ وصوم رمضان (رواه البخارى)
“Rasulullah SAW telah bersabda : Islam dibangun atas lima dasar yaitu mengucapkan kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, dan berpuasa pada bulan ramadhan”. (HR. Bukhari)
Hadits ini mentaqrir ayat-ayat al-Qur’an tentang syahadat (QS. Al-Hujarat (49) : 15)

انّما المؤمنون الّذين امنوا باللّه ورسوله ثم لم ير تا بوا وجاهدوا باموالهم وانفسهم فى سبيل اللّه اولئك هم الصّدقون ( الحجرات ٤٩ : ١٥ )
“Sesunguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”. (QS. Al-Hujarat (49) : 15)
Tentang shalat dan zakat (QS. An-Nur (24) : 56)
     واقيمواالصّلوة واتواالزّكوة واطيعواالرّسول لعلّكم ترحمون (النور ٢٤ : ٥٦
 “Dan laksanakan shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat”. (QS. An-Nur (24) : 56)
Tentang haji (QS. Ali-Imron (3) : 97)
فيه اتت بيّنت مّقا م ابراهيم ومن دخل كان امنا واللّه على النّاس حجّ البيت من استطاع اليه سبيلا ومن كفر فان اللّه غنيّ عن العالمين ( ال عمران ٣ : ٩٧)
“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas,(diantara) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan di antara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana, barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. (QS. Ali-Imran (3) : 97)
Abu Hammadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’qid ini dengan istilah bayan Al-Muwafiq li al-Nas al-Kitab. Hal ini di karenakan munculnya hadits-hadits ini sealur (sesuai) dengan nas al-Qur’an.
Suatu kandungan dalam hadits itu setara dengan al-Qur’an, baik dalam mujmal (global/umum) dan tafshili (terperinci). Oleh karena itu, hadits ini tidak bersifat menambah atau menjelaskan apa yang terdapat dalam al-Qur’an, akan tetapi hanya sekedar menetapkan, memperkokoh, dan mengungkapkan kembali apa yang terdapat dalam al-Qur’an.  Seperti hadits berikut:
     ياأيّهاالنّاس توبو االى اللّه واستغفروه فإنّى اتوب فى اليوم مائة مرّة (رواه مسلم)
 “Wahai para manusia, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah dan mohonlah ampunan kepadanya, karena sesungguhnya saya bertaubat seratus kali setiap hari”. (HR. Muslim)
Hadits taqriri adalah hadits berupa ketetapan Nabi Muhammad SAW. Terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabat-sahabatnya. Nabi Muhammad SAW. Membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberi penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujjah atau mempunyai hukum untuk menetapkan suatu kepastian syara’.
Diantara contoh hadits taqriri adalah sikap Rasulullah SAW. Yang membiarkan para sahabat dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu keterangan, yaitu:
                                           لايصلّين أحد العصر إلّا فى بني قريضة (رواه البخارى)
“Janganlah seseorangpun shalat asar, kecuali nanti di Bani Quraidhah”. (HR. Bukhari)
Sebagai sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat asar. Segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini di biarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.

2.      As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum
Hubungan hadis dengan al-qur’an – Di sini hadith berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran.[6]
Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur’an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati perintah dan larangan. Ada perintah shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua serta banyak lagi yang lainnya. 
Misalnya, Al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya: 
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al Baqarah/2:183) 
Dan hadith menguatkan kewajiban puasa tersebut: 
Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim).
3.      As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci
Hubungan hadis dengan al-qur’an – sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur’an, atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dari ayat-ayat Al-Qur’an yang muthlaq dan ‘am. Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur’an dengan firman-Nya.
“Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. [An-Nahl: 44]
Diantara contoh As-Sunnah men-takhshish Al-Qur’an adalah:
“Artinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan“. [An-Nisaa: 11]
Ayat ini ditakhshish oleh As-Sunnah: 
para nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai sadaqah. tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau sebaliknya, dan.. pembunuh tidak mewariskan apa-apa [Hadits Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah] 
Hadith memberikan rincian terhadap pernyataan Al Qur`an yang masih bersifat global.
Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat: 
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (QS. Al Baqarah /2:110). 
Shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadith merincinya, misalnya shalat yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW: 
Dari Thalhah bin Ubaidillah: bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW. dan berkata: “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang difardukan untukku?” Rasul berkata: “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat” (HR. Bukhari dan Muslim). 
Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadith, misalnya sabda Rasulullah SAW: 
“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari).
4.      Hadith membatasi kemutlakan ayat Al-Qur`an
Hubungan hadis dengan al-qur’an – “Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya..” [Al-Maidah: 38]. 
Ayat ini tidak menjelaskan sampai dimanakah batas tangan yang akan di potong. Maka dari As-Sunnahlah di dapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan. (Subulus Salam 4: 53-55). 
Contoh lain Al-qur`an mensyariatkan wasiat:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al Baqarah/2:180).
Hadith memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.

5.      Hadith memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al-Qur`an yang bersifat umum
Hubungan hadis dengan al-qur’an – Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah: 
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3). 
Hadith memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”(HR. Ahmad, Syafii, Ibn Majah, Baihaqi dan Daruqutni). 
6.      Hadith menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an
Hubungan hadis dengan al-qur’an – Al-qur`an bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti. Dalam hal ini, hadith berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadith dibawah ini: 
Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar. (HR. Muslim dari Ibn Abbas).
Juga tentang haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan dalam hadith-hadith yang shahih. 
Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur’an dengan As-Sunnah.
Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadith mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an. 
Imam Syafi’i berkata: “Apa-apa yang telah disunahkan Rasulullah saw. yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana Allah mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya. “Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allahlah kembali semua urusan”. [Asy-Syuura: 52-53]. 
Rasulullah saw. telah menerangkan hukum yang terdapat dalam Kitabullah, dan beliau menerangkan atau menetapkan pula hukum yang tidak terdapat dalam Kitabullah. Dan segala yang beliau tetapkan pasti Allah mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah menjelaskan barangsiapa yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan barangsiapa yang tidak mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat kepada-Nya, yang demikian itu tidak boleh seorang mahlukpun melakukannya. Dan Allah tidak memberikan kelonggaran kepada siapapun untuk tidak mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah saw.[7] 
Ibnul Qayyim berkata: “Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam Al-Qur’an, maka hal itu merupakan tasyri’ dari Nabi saw. yang wajib bagi kita mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu sebagai perwujudan pelaksanaan perintah Allah supaya kita mentaati Rasul-Nya. Seandainya Rasulullah saw. tidak ditaati, maka ketaatan kita kepada Allah tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap apa-apa yang sesuai dengan Al-Qur’an dan terhadap apa-apa yang beliau tetapkan hukumnya yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an.[8] Allah berfirman: 
“Artinya:  Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah”. [An-Nisaa: 80]. 

C. Perbandingan Hadith dengan Al-Qur’an tinjauan hubungan hadis dengan al-qur’an
Hubungan hadis dengan al-qur’an – Hal terpenting dalam mempelajari sebuah agama adalah sumber ajarannya. Hadith dalam islam merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya setingkat lebih rendah dari pada Al-quran.
Al-quran adalah kalamullah yang diwahyukan Allah SWT lewat malaikat Jibril secara lengkap berupa lafadz dan sanadnya sekaligus, sedangkan lafadz hadith bukanlah dari Allah melainkan dari redaksi Nabi sendiri. Dan juga banyak ayat Al-qur’an dan Hadith yang memberikan pengertian bahwa hadith itu merupakan sumber hukum Islam selain Al-qur’an yang wajib diikuti. Baik dalam bentuk perintah maupun larangannya.[9] 
Para sahabat mengumpulkan Al-quran dalam mushaf dan menyampaikan kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah atau hilang. Dan mushaf itu terus terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa. 
Sedangkan hadith tidak demikian keadaannya, karena hadith qouli hanya sedikit yang mutawatir. Kebanyakan hadith yang mutawatir mengenai amal praktek sehari-hari seperti bilangan rakaat shalat dan tata caranya. Al-quran merupakan hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan hadith sebagai ketentuan-ketentuan pelaksanaan (praktisnya).
Hadith juga ikut menciptakan suatu hukum baru yang belum terdapat dalam al-Quran seperti dalam hadith yang artinya : 
Hadith dari Abi Hurairoh R.A dia berkata, Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah halal mengumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara bapa yang perempuan) dan tidak pula antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara ibu yang perempuan). (H.R. Bukhari dan Muslim). 
Akan tetapi untuk memahami Al-qur’an harus mengetahui berbagai informasi tentang peristiwa atau berbagai hal yang melingkupinya ketika itu. Dalam ilmu tafsir, asbabun nuzul punya peran strategis menguak misteri pesan ayat-ayat Al-qur’an. Informasi asbabun nuzul ini terdapat dalam catatan hadith.[10] Jadi untuk memahami Al-qur’an secara baik perlu bantuan informasi dari hadith.  Tanpa informasi hadith, misi Al-qur’an tidak dapat diketahui dengan jelas, karena itu bagi orang Islam keduanya menjadi sumber ajaran Islam. 

D. Para Ulama’ Berbeda Pandapat Tentang Penjelasan Hadits Terhadap Al-Qur’an.
a.      Menurut Ulama’ Ahl al-Ra’y, penjelas hadits terhadap al-Qur’an adalah sebagai berikut :
Bayan al-Taqrir adalah keterangan yang didatangkan dari sunnah untuk memperkokoh apa yang telah diterangkan oleh al-Qur’an.
b.      Menurut Imam Malik, Bayan Al-Hadits
Bayan al-Taqrir adalah menetapkan dan memperkokoh hukum al-Qur’an, bukan men-tawdhih (memperjelas), men-taqyid (membatasi) yang mutlak atau men-takhsish (mengkhususkan) yang ‘amm (umum).




DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mutawali Hamadah, As-Sunnah An-Nabawiyah wa nakanatuh fi al- Tasyri’, Dar Al Qoumiyah li Ath-thiba’ah wa An-Nasyr, Kairo, 1965
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Al-Sunnah Qobla Al-Tadwin. Beirut: Dar Al-Fikr, cet ke 6, 1997.
Anwar, Duaa. Memahami Segalanya tentang Al-qur’an. Batam: Karisma Publishin Group. 2007.
HM. Mutsna, Qur’an Hadits MA, Toha Putra, Semarag, 2002
Jawas, Yazid Abdul Qadir. Kedudukan As-Sunnah Dalam Syari’at Islam. Pustaka Al-Kautsar: tt.
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2002
Noor Sulaiman, Ilmu Hadits, Perseda Pres, Jakarta, 2008
Suparta, Munzier. Ilmu Hadith. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Suyadi Agus dan Solahudin Agus, Ulumul Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2008
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996
Zuhri, Moh. Telaah Matan Hadith Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta: LEFSI, 2003.