Makalah
KAEDAH-KAEDAH TAFSIR
DI SUSUN
O
L
E
H
SELAMAT ARIGA
NIM : 150104030
MK : ILMU TAFSIR
HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI AR-RANIRY BANDA ACEH
2016
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Al Quran sebagai
pedoman manusia mengandung keindahan dan kehebatan yang sangat luar biasa. Ia
disusun dengan bahasa yang sangat indah. Kandungan sastranya yang begitu tinggi
membuat orang – orang tidak mampu menandingi kehebatannya. Disamping itu, Al
Quran merupakan rujukan dari semua tingkah laku (akhlak) Nabi SAW. Meskipun
demikian, karena kehebatannya yang luar biasa itulah, terkadang terdapat
masalah – masalah yang belum begitu jelas. Oleh karena itu diperlukan
penafsiran terhadap ayat – ayat Al Quan tersebut. Akan tetapi, untuk
menghindari terjadinya penafsiran –penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud
dari kandungan Al Quran tersebut, sehingga dibentuklah kaidah – kaidah sebagai
pedoman bagi seorang mufassir untuk menafsirkan. Dengan makalah singkat ini,
kami berusaha menyampaikan untuk bersama – sama belajar tentang kaidah – kaidah
tersebut. Dengan demikian Al Quran tidak akan kehilangan eksistensinya sebagai
kalam Allah.
II. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kaedah Tafsir ?
2. kaedah-kaedah tafsir yang bagaimanakah yang dipakai dalam penafsiran
Al-quran?
3. Bagaimana penerapan kaedah tafsir kontenporer ?
III. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Apakah yang dimaksud dengan kaedah Tafsir
2. Untuk mengetahui kaedah-kaedah tafsir yang bagaimanakah yang dipakai dalam
penafsiran Al-quran
3. Untuk mengetahui Bagaimana penerapan kaedah tafsir kontenporer
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah-Kaidah Tafsir
Qawaid al tafsir
merupakan kata majemuk; terdiri dari kata qowaid dan kata tafsir. Qawaid,
secara etimologis, merupakan bentuk jamak dari kata qoi’dah atau kaidah dalam
bahasa Indonesia. Kata qo’idah sendiri, secara semantik, berarti asas, dasar,
pedoman, atau prinsip.[1]
ü Secara bahasa tafsir mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari aal kata Al-fasr yng
berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Menyingkap dan
menampakkan atau menerangkan makna yang absrak[2]
ü Sedangkan menurut
istilah sebagaimana
didefinisikan Abu Hayyan, tafsir ialahilmu yang membahas tentang cara
mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna
yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun serta hal-hal yang
melengkapinya.[3]
ü Secara terminologis terdapat banyak difinisi yang di ungkap oleh para ahli, seperti Syaikh
Az-Zarqani yang mengungkapkan bahwa tafsir adalah “ suatu ilmu yang
membahas perihal Al-Qur’an dari segi dalalahnya sesuai maksud Allah ta’ala
berdasar kadar kemampuan manusiawi. Begitu pula imam Al-Qurtubi yang
mengatakan, tafsir adalah penjelasan tentang lafadz”. Sedangkan As-Suyuti yang
dikutip Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir dengan “ ilmu yang membahas maksud
Allah ta’ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala
sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna”.
B. Urgensi Kaidah
Tafsir
Untuk menekuni bidang
tafsir, seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya kaidah-kaidah
tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur’an. Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa Arab, karena Al-Qur’an
diturunkan menggunakan bahasa tersebut. Selain itu perlu memahami ilmu ushul
fiqh. Dengan ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh kemudahan dalam
menangkap pesan-pesan
Al-Qur’an.
Ibn ‘Abbas, yang
dinilai sebagai seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud
firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama,
yang dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan
bahasa mereka.kedua, yang tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak
mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama.keempat,
yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
C. Cakupan Kaidah Tafsir
Menurut Qurais Shihab
komponen kaidah-kaidah penafsiran Al Qur’an mencakup:
1. Ketentuan-ketentuan yang harusdiperhatikandalammenafsirkan
Al-Quran
2. Sistematika yang
hendaknyaditempuhdalammenguraikanpenafsiran
3.
Patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik dari
ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik langsung dari
penggunaan Al-Quran. [4]
Para ahli tafsir
berbeda pandangan dalam hal menentukan kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an.
Berikut akan dipaparkan dua orang ulama yang merumuskan kaidah tafsir. Abd
ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir
al-Qur’an mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan
pemahaman keagamaan secara umum seperti hukum dan tauhid.Beberapa kaidah pokok
diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Kaidah yang terkaitdengankebahasaan
b) Kaidah yang terkaitdenganhukum
c) Kaidah yang berhubungandengantauhid
Muhammad ibn Alawi Al-Maliki Al-Hasanimisalnya,
berpandanganbahwaolehkarena Al-Qur’an diturunkandalambahasaarab yang jelas,
sebagaimanafirman Allah dalam QS. Yusuf (10)
: 2,“ sesungguhnya kami menurunkannyaberupa
al-qur’andenganbahasaarab, agar kamumemahami “. Makakaidah-kaidah yang
diperlukan para mufassirdalammemahami Al-Qur’an
terpusatpadakaidah-kaidahbahasa, pemahamanazas-azasnya,
penghayatanterhadapredaksinyadanpengetahuanakanrahasia-rahasia yang
dikandungnya.
Meskipun demikian
keberadaan kaidah-kaidah penafsiran yang disusun para ulama tetap penting.
Kaidah-kaidah tersebut bisa dijadikan sebagai kerangka metodologi dalam
melakukan penafsiran dengan menggunakan metode yang sama. Kaidah tersebut juga
bisa digunakan sebagai referensi dan pembanding dalam melakukan proses
penafsiran.
D. Macam-Macam Kaidah
Tafsir
Kaidah-kaidah tafsir
yang berkembang dalam sejarah penafsiran al-Qur’an sangat beragam. Berdasarkan perkembangan
tersebut, jika dipetakan kadiah-kaidah tafsir dapat dikelompokkan menjadi
kaidah dasar, umum dan khusus.
1.
Kaidah Dasar Tafsir
Kaidah dasar berkaitan
dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-Qur’an yang meliputi
al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam kaidah dasar
ini seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada al-Qur’an dengan meneliti
secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an tentang suatu pokok
persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang
mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat
masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain .
Kemudian mufasir juga
harus memerhatikan hadis-hadis nabi. Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus
menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk
menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis tersebut.
Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat
al-Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya.
Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan
kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
Demikian juga dengan perkataan tabiin. Hanya saja keberadaan perkataan tabiin dalam menafsirkan al-Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
Demikian juga dengan perkataan tabiin. Hanya saja keberadaan perkataan tabiin dalam menafsirkan al-Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
2.
Kaidah Umum Tafsir
Kaidah khusus yang
dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh
seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu
bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul
fiqh, dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa
kata, konotasi dan konteks al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang
mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan
perubahan i’rab. Dengan ilmu sharah (konyugasi), seorang mufasir dapat melihat
bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata.
Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat digunakan oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara melafalkan al-Qur’an.
Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat digunakan oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara melafalkan al-Qur’an.
Berikut ini adalah
beberapa contoh penerapan kaidah penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu tersebut.
VIII.
Dhamir (kata ganti)
Kaidah yang berkaitan
dengan dhamir terdari dari:
ü Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan
ü Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
ü Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat[6]
IX.
Penggunaan ism
al-ma’rifat dan al-nakirat (ta’rif dan tankir)
Penggunaan ism
al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
ü Ta’rif dengan ism al-dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan
ü Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati
ü pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S.
48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
ü Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan
bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya
dengan menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan memakai kata
tunjuk dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh (Q.S.
2:2), dan mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat
itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah ism al-isyarat tersebut
(Q.S. 2:2-5)
ü Ta’rif dengan ism al-mausul (kata ganti penghubung) berfungsi untuk
menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau
sebab lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69), untuk
meringkas kalimat (Q.S. 33:69)
ü Ta’rif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah
diketahui karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah
diketahui pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui
karena ia hadir pada saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S.
103:2), menunjukkan segala karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi,
hakikat dan jenis (Q.S. 21:30).[7]
X.
Pengulangan kata benda
(ism)
Apabila sebuah ism
disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni keduanya
makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah ,
dan yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah
sebagai berikut:
ü Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat
yang pertama (Q.S. 1:6-7)
ü Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S.
30:54)
ü Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah
yang sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
ü Jika yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang
dimaksudkan bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan
bahwa keduanya itu berbeda (Q.S. 39:27-28)
XI.
Mufrad dan Jamak
Dalam al-Qur’an ada
sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada dalam bentuk mufrad dan
jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
ü Kata al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk
mufrad berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih
luas dari pada adzab-Nya.
ü Kata al-nur dan sabil al-haq selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata
al-dzulumat dan sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan
bahwa jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam.
Kaidah yang sama juga berlaku untuk kalimat waliy al-mu’minin dan auliya
al-kafirin.[8]
XII.
Kata-kata yang
seolah-olah sinonim (Mutaradif)
Dalam al-Qur’an banyak
kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang mufasir harus jeli dalam
melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali memiliki makna yang berbeda.
Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini antara lain:
ü al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan
untuk menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti
meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata
al-khauf berarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut
kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
ü al-syuhh dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang
lebih dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl
hanya kikir saja.
XIII.
Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban
itu harus sesuai dengan pertanyaan. Apabila terjadi penyimpangan dari
pertanyaan yang dikehendaki, hal ini mengingatkan bahwa jawaban itulah yang
seharusnya ditanyakan.(Q.S. 2: 189)
XIV.
Penerapan kaidah ushul
fiqh dalam penafsiran al-Qur’an
Di antara kaidah tafsir
yang berkaitan dengan ushul fiqih adalah sebagai berikut:
ü Patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat umum,
bukan sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat.(Q.S. 24:6)
ü Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan
yang wajib (Q.S. 62:9)
ü Perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya dan larangan atas
sesuatu berarti perintah atas kebalikannya (Q.S. 73:10)
Selain kaidah-kaidah di
atas masih banyak kaidah lainnya, di antaranya kaidah tentang al-jumlat
al-ismiyat dan fi’liyah, ‘athaf, kata fa’ala, kana, kada, ja’ala, la’alla dan
‘asa. Penerapan kaidah-kaidah tersebut dibahas secara panjang lebar oleh Manna
al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an.[9]
3.
Kaidah Khusus Tafsir
Kaidah khusus
penafsiran merupakan kaidah yang dibangun berdasarkan perspektif dan wordview
yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran Islam. Dalam hal ini warna tafsir
menjadi sangat beragam sesuai dengan perspektif keilmuannya masing-masing.
Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-Qur’an di antaranya adalah ilmu kalam, fiqh, tasawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pada masing-masing perspektif keilmuan tersebut juga terdapat berbagai aliran pemikiran yang bermacam-macam. Misalnya adanya perbedaan kaidah antara tafsir yang dikembangkan Asy’ariyah dan Muktazilah dalam perspertif teologi. Atau antara tafsir Syafi’iyah dan Hanafiyah dalam perspektif fiqh. Juga antara tafsir Ghazalian dan Rusydian dalam sudut pandang filsafat. Setiap aliran memiliki perspertif keilmuan tersendiri berdasarkan paradigmanya masing-masing.
Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-Qur’an di antaranya adalah ilmu kalam, fiqh, tasawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pada masing-masing perspektif keilmuan tersebut juga terdapat berbagai aliran pemikiran yang bermacam-macam. Misalnya adanya perbedaan kaidah antara tafsir yang dikembangkan Asy’ariyah dan Muktazilah dalam perspertif teologi. Atau antara tafsir Syafi’iyah dan Hanafiyah dalam perspektif fiqh. Juga antara tafsir Ghazalian dan Rusydian dalam sudut pandang filsafat. Setiap aliran memiliki perspertif keilmuan tersendiri berdasarkan paradigmanya masing-masing.
IV.
Memetakan
masalah-masalah dalam al-qur’an menjadi wilayah bukan nalar dan wilayah nalar.
Wilayah bukan nalar
meliputi masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah. Sedangkan yang
termasuk wilayah nalar meliputi masalah-masalah kemasyarakatan. Wilayah
pertama, apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa
pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun
wilayah yang kedua menempatkan penafsiran terhadap teks sesuai dengan
proporsinya yang tepat. Dalam hal ini wilayah kedua menjadi lahan garapan bagi
para mufasir untuk melakukan tafsir ulang terhadap teks al-Qur’an.
V.
Melakukan pemetaan
ulang terhadap wilayah qath’i dan dzanni
Pemikiran modernis
menuntut adalah pemetaan ulang terhadap wilayah dzanni dan qath’i al-Qur’an.
Hal ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan
realitas baru. Misalnya angka kematian yang dapat ditekan dan rata-rata umur
manusia yang meningkat dibanding tahun-tahun berikutnya, dengan menggunakan
ilmu kedokteran. Karenanya pandangan yang selama ini menyatakan bahwa umur
merupakan mafatih al-ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah sudah
seharusnya berubah .
Pembagian wilayah
qath’i dan dzanni didasarkan pada pemetaan wilayah bukan nalar dan wilayah
nalar pada poin pertama di atas. Pemetaan ini berimplikasi pada konsep syariat
yang selama ini diidentikkan dengan fiqh. Karena itu syariat harus dipisahkan
dari fiqh. Syariat bersifat qhat’i, sedangkan fiqh bersifat dzanni. Dengan
demikian fiqh menjadi wilayah nalar yang dapat ditafsirkan ulang, dengan
bantuan ilmu modern.
VI.
Penggunaan takwil dan
metafora dalam penafsiran
Perkembangan ilmu
pengetahuan, dengan berbagai penemuan ilmiahnya memungkinkan usangnya makna
al-Qur’an yang ditafsirkan jauh sebelum penemuan tersebut. Misalnya adanya
keyakinan bahwa sesungguhnya yang menurunkan hujan adalah Allah. Ulama klasik
enggan untuk mengatakan bahwa langit yang menurunkan hujan. Di era modern,
dengan adanya bukti empirik tentang proses terjadinya hujan, maka teks tersebut
harus diposisikan sebagai suatu metafora. Dengan demikian peluang penggunaan
takwil dalam penafsiran menjadi lebih terbuka.
E. Kaidah Penafsiran
Kontemporer
Tafsir kontemporer
dapat dikatakan sebagai konsep penafsiran yang dikembangkan oleh para pemikir
muslim neo-modernisme atau post-modernisme. Modernisme Islam yang tumbuh dan
berkembang pada abad ke-19 memang mampu melahirkan pembaruan pemikiran menuju
masyarakat muslim modern. Akan tetapi di sisi lain modernisme masih memiliki
celah konservatisme dalam konsep pemurnian Islam. Pendekatan konservatif
terhadap konsep ini kembali menarik Islam ke arah pemikiran tradidional yang
dikenal dengan istilah puritanisme.
Pada saat umat Islam terjebak pada puritanisme ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad ini. Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Di antara para pemikir tersebut adalah Muhammad Shahrur, dan Fazlurrahman.
Pada saat umat Islam terjebak pada puritanisme ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad ini. Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Di antara para pemikir tersebut adalah Muhammad Shahrur, dan Fazlurrahman.
Berikut ini adalah
kaidah khusus tafsir yang dikembangkan oleh keduanya:
III.
Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur
mengembangkan metode penafsiran yang disebut dengan intratektualitas dan
paradigma-sintagmatis. Kaidah yang digunakan dalam metode ini adalah sebenarnya
adalah kaidah dasar tafsir yang juga digunakan dalam penafsiran-penafsiran yang
lain, yaitu sebagian ayat al-Qur’an menafsirkan ayat yang lain. Namun yang
menjadikannya berbeda adalah analisis yang digunakan. Analisis pemahaman
terhadap sebuah konsep dari suatu teks dilakukan dengan cara mengaitkannya
dengan konsep dari teks-teks lain yang mendekati atau yang berlawanan
(paradigmatik).
Kaidah lain yang
dikembangkan oleh Shahrur adalah bahwa di dalam bahasa Arab tidak terdapat
sinonim, setiap kata mempunyai kekhususan makna. Bahkan satu kata bisa jadi
memiliki lebih dari satu potensi makna. Salah satu faktor yang bisa menentukan
makna mana yang lebih tepat dari potensi-potensi makna yang ada ialah konteks
logis dalam suatu teks di mana kata itu disebutkan. Inilah yang disebut dengan
analisis sintagmatis, yang memandang bahwa makna setiap kata pasti dipengaruhi
oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.
IV.
Fazlur Rahman
Metode tafsir yang
dikembangkan oleh Fazlur Rahman dikenal dengan metode gerakan ganda (double
movements). Metode ini sangat terkait dengan kaidah khusus yang dikembangkan
oleh Fazlur Rahman dalam memaknai al-Qur’an. Menurutnya esensi al-Qur’an adalah
moral yang menekankan pada monoteisme dan keadilan sosial. Barawal dari kaidah
ini dikembangkanlah metode gerakan ganda.
Metode ini dikembangkan
dengan menarik situasi kontemporer menuju era al-Qur’an diturunkan, lalu
ditarik kembali ke masa sekarang. Elaborasi definitif dari metode ini adalah
sebagai berikut:
Pertama, memahami arti atau makna dari suatu teks dengan cara mengkaji situasi
atau problem historis pada saat itu. Dari kajian tersebut ditarik suatu
kesimpulan ke arah nilai-nilai moral, prinsip-prinsip umum dan tujuan jangka
panjang.
Kedua, nilai-nilai tersebut kemudian ditarik dalam konteks sosio-historis pada
saat sekarang ini dan digunakan untuk mengkaji dan menilai berbagai persoalan
kontemporer yang sedang berlangsung.
Di samping dua pemikir
di atas masih ada sederetan pemikir Islam kontemporer yang mengembangkan kaidah
penafsiran secara unik sesuai dengan perkembangan sosio-historisnya
masing-masing. Seperti Nasr Abu Zaid, Farid Esack, Mohammad Arkoun, Bint Syati’
dan lain-lain.
BAB III
KESIMPULAN
Kaidah tafsir dapat
diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan
pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena penafsiran merupakan
suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial,
ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika
dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut
tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama.
Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka
metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan
Penerapan kaidah tafsir
bergantung pada kaidah yang digunakan oleh para mufasir. Dari berbagai kaidah
tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah dasar, kaidah umum dan kaidah
khusus. Masing-masing kaidah diterapkan sesuai dengan metode penafsirannya
masing-masing
Pada era kontemporer
kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan perkembangan intelektualitas
para pemikir muslim dan juga sesuai dengan perkembangan intelektualitas global.
Para pemikir muslim mengembangkan kaidah dan metode penafsiran sesuai dengan
situasi sosio-historis yang dihadapinya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
Dahlan,M.A,Drs.H.Abd.Rahman. Kaedah-kaedah Tafsir, Amzah: jakarta. 2010
Drs.H.Sadali,M.A dan Drs.Hahmad Rofi’i.Ulumul Quran
II. Bandung :cv Pustaka Setia,1997
Paman, Supiana-M.,Ulumul Qur’an. Bandung
: Pustaka Islamika, 2002
Qattan,Manna Khalil al.,Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an . Bogor : Pustaka Lintera Antar Nusa
Sihab,Qurais,Drs.Muhammad.Membumikan Al-Quran.Bandung:Mizan.1992
[1]Supiana-M. Paman, Ulumul Qur’an .,Bandung
: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 273
[2]Manna Khalil al qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an .,Bogor : Pustaka Lintera Antar Nusa), hlm. 456
[3]Manna Khalil
al qattan. Ibid. Hlm. 456.
[4]Drs.Muhammad Qurais Sihab.”Membumikan Al-Quran”.,
.(Bandung:Mizan,1992). Hlm :154
[5]Drs.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,Kaedah-kaedah Tafsir,2010.Amzah jakarta
[6]Drs.H.Sadali,M.A dan Drs.Hahmad Rofi’i” Ulumul Quran II” ( Bandung :cv
Pustaka Setia : 1997)hlm :86
[7]Drs.H.Sadali,M.A dan Drs.Hahmad Rofi’i” Ulumul Quran II” ( Bandung :cv
Pustaka Setia : 1997) hlm:89
[8]Drs.H.Sadali,M.A dan Drs.Hahmad Rofi’i” Ulumul Quran II” ( Bandung :cv
Pustaka Setia : 1997) hlm:98
[9]Drs.Muhammad Qurais Sihab.”Membumikan Al-Quran”.,
.(Bandung:Mizan,1992). Hlm :154
bagus untuk mahasiswa
BalasHapus