Kamis, 27 Oktober 2016

Makalah Lembaga-Lembaga yang Berperan dalam Penerapan Syariat Islam di Aceh




Makalah



LEMBAGA-LEMBAGA PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH

DI SUSUN
O
L
E
H
SELAMAT ARIGA
NIM : 150104030

 
MK : STUDI SYARIAT ISLAM DI ACEH
HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI AR-RANIRY BANDA ACEH
1438 H / 2016 M











BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.Pelaksanaan Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Adapun aspek-aspek pelaksanaan Syari’at Islam adalah seperti terdapat dalam Perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Bab IV Pasal 5 ayat 2, yaitu: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, Pendidikan dandakwah Islamiyah/amar makruf anhi munkar, Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan Mawaris.
Dalam perjalanan Syariat Islam di Aceh, jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, maka Aceh memiliki keunikan karena masyarakatnya mampu menyerap budaya dan menyesuaikan diri. Dalam konsiderans UU no. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Contohnya, para ulama di Aceh mendapatkan tempat yang istimewa dalam hal memberikan pandangan-pandangan, saran-saran, dan masukan-masukan untuk menetapkan suatu kebijakan. Hal tersebut tidak didapatkan para ulama di daerah lain.
Maka dari itu perlu rasanya kita mengetahui tentang lembaga-lembaga yang terkait atau berperan penting terhadap pelaksanaan syariat islam di Aceh.
2.      Rumusan Masalah
1.      Lembaga apa saja yang berperan dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh ?...
2.      Apa peran dari lembaga-lembaga tersebut terhadap pelaksanaaan syariat islam di Aceh ?...
3.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui  Lembaga apa saja yang berperan dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh
2.      Untuk mengetahui Apa peran dari lembaga-lembaga tersebut terhadap pelaksanaaan syariat islam di Aceh
 


BAB II
PEMBAHASAN

A.    SYARIAT ISLAM DI ACEH
Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul.[1]
Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) syariat islam secara harfiah adalah jalan(ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslum, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupunsuruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.[2]
Jadi,dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan keseluruhan peraturan atau hukumyang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia denganalam (lingkungannya), baik yang diterapkan dalam AL-qur’an maupun hadis dengan tujuan terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat.Dalam hunbungannya dengan syariat islam yang berlaku di aceh, dapat dijelaskan lembaga-lembaga yang memiliki wewenang dalam penerapan syariat islam di aceh sebagai berikut :

B.     LEMBAGA-LEMBAGA PELAKSANA SYARI’AT ISLAM DI ACEH
1.      DINAS SYARIAT ISLAM
Dinas Syariat Islam ini merupakan merupakan perangkat daerah sebagai unsur pelaksana syari’at Islam di lingkungan Pemerintah Aceh yang kedudukannya berada di bawah Gubernur. Dinas ini dipimpin oleh seorang Kepala dinas yang berada dibawah dan bertanggung-jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 feb 2002. Lembaga inilah yangmengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di Aceh.
a.      Dinas Syariat Islam mempunyai fungsi:
1.      Sebagai pelaksana tugas yang berhubungan dengan perencanaan,penyiapan kanun yang berhubungan dengan pelaksanaan syari’at Islam serta mendokumentasikan dan menyebarluaskan hasilhasilnya.
2.      Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan denganpelaksanaan Syari’at Islam.
3.      Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya sertapenyemarakan syi’ar Islam.
4.      Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan bimbingan danpengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam ditengah-tengahmasyarakat, dan
5.      Pelaksanaan tugas yang berhubungan bimbingan dan danpenyuluhan syari’at Islam.

b.      Kewenangan Dinas syariat islam
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di atas Dinas Syariat Islam mempunyai kewenangan:
1.      Merencanakan program penelitian dan pengembangan unsur-unsur syari’at Islam.
2.      Melestarikan nilai-nilai Islam
3.      Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan syari’at Islam yang meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak,pendidikan dan dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi munkar, baitulmal, kemasyarakatan, syari’at Islam, pembelaan islam, qadha,jinayat, munakahat dan mawaris.
4.      Mengawasi terhadap pelaksanaan syari’at Islam
5.      Membina dan mengawasi terhadap Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an  (LPTQ).

2.      WILAYATUL HISBAH (WH)  
Qanun tentang penyelenggaraan syari’at Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam mengamanatkan pembentukan Wilayatul Hisbah (WH), sebagai badan yang melakukan pengawasan, pemberi ingat dan pencegahan atas pelanggaran syari’at Islam.
Mengenai struktur, kewenangan ataupun mekanisme kerja badan ini akan ditetapkan dengan peraturan lain yang diatur dalam qanun.
            Dalam Fiqh WH merupakan satu badan pengawasan yang bertugas melakukan amar Ma’rufnahi munkar, mengingatkan masyarakat mengenai aturan-aturan syari’at, langkah yang harus mereka ambil untuk menjalankan syari’at serta batas dimana orang-orang harus berhenti. Sebab kalau mereka terus berbuat mereka akan dianggap melanggar ketentuan syari’at. Dalam keadaan terpaksa atau sangat mendesak, WH diberi izin melakukan tindakan untuk menghentikan pelanggaran serta melakukan tindakan yang dapat menghentikan upaya pelanggaran atau sebaliknya mengarahkan orang-orang agar melakukan ajaran dan perintah syari’at.
Dalam Keputusan Gubernur Provinsi Aceh Nomor 01 Tahun 2004 Tentang Organisasi dan tata cara Kerja
a.      Tingkatan-tingkatan Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah dalam Bab II Pasal 2 menyebutkan bahwa susunan organisasi Wilayatul Hisbah, terdiri atas;
1.      Wilayatul Hisbah Tingkat Provinsi;
2.      Wilayatul Hisbah Tingkat Kabupaten/Kota;
3.      Wilayatul Hisbah Tingkat Kecamatan, dan
4.      Wilayatul Hisbah Tingkat Kemukuman.

Susunan WH Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan, terdiri atas ketua, wakil ketua dan sekretaris sertamuhtasib, yang pengangkatannya dilakukan oleh Gubernur, Bupati/Walikota.
Mengenai susunan WH tingkat kemukiman terdiri dari seorang koordinator dan beberapa orang muhtasib, yang bertugas di gampong-gampong dan diangkat oleh Bupati/Walikota dan pengangkatan muhtasib ini terlebih dahulu dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) setempat.
Wilayatul Hisbah menekankan pada ajaran untuk melakukan perbuatan baik (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi227 Pasal 3 ayat (1, 2 dan 3) Keputusan Gubernur Provinsi Aceh Nomor 01Tahun 2004 Tentang Organisasi dan tata cara Kerja Wilayatul Hisbah.munkar, untuk mengharap ridha Allah, bukan untuk menjatuhkan hukuman dan sekedar ketertiban masyarakat. Jadi dimensi moralnya relatif sangat menonjol.

b.      Pembahagian badan Wilayatul Hisbah
Selain Wilayatul Hisbah dalam kitab fiqih (kitab-kitabassiyasatu-sy syar’iyyah) dikenal dua badan lain yang mempunyai otoritas untuk penegakan hukum yaitu:
1.      Wilayat-ul qadha,
yaitu lembaga atau badan yang berwenangmenyelesaikan sengketa antara sesama rakyat (sekaranglebih dikenal sebagai lembaga pengadilan atau badan arbitrase).
2.      Wilayat-ul mazhalim,
yaitu lembaga atau badan yang berwenang sengtketa antara pejabat (dalam hal penyalah-gunaan jabatan) dengan rakyat, atau antara  bangsawan  dengan rakyat biasa.
Kewenangan ini  biasanya dipegang langsung oleh khalifah sebagai kepala negara (kepala pemerintahan), atau diserahkan kepada gubernur, kepala suku, dsb.
Kewenangan ini ada pada mereka karena para pejabat atau para bangsawan tersebut tidak mau menghadap pengadilan, dan lebih dari itu sering pengadilan tidak mempunyai cukup wewenang untuk memaksa menghukum mereka. Sebagai lembaga baru atau baru diperkenalkan di Aceh, lembaga yang terinspirasi dari ketentuan dan keberadaannya dalam sejarah umat Islam di masa lalu.
Lembaga ini sebenarnya mempunyai tugas dan kewenangan yang hampir sama dengan Polisi Khusus, SatuanPolisi Pamong Praja (SATPOL PP) atau juga Penyidik Pegawai NegeriSipil (PPNS).

c.       Tugas dan wewenang WH
Keberadaan Wilayatul Hisbah sebagai pengawas dan pengontrol dicantumkan dalam beberapa qanun. Sebagai mana,.dalam Perda No 5 Tahun 2000, dalam Bab VI (Tentang Pengawasandan Penyidikan) Pasal 20 ayat (1) menyebutkan : Pemerintah daerah berkewajiban membentuk badan yang berwenang mengontrol dan mengawasi (Wilayatul Hisbah) pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah inisehingga dapat berjalan dengan sebaik-baiknya”.
Selain itu, di dalam Qanun No. 11 Tahun 2002, dalam Pasal 14 (Bab VI, Pengawasan Penyidikan dan Penuntutan), disebutkan bahwa :
a)      untuk terlaksananya syari’at Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syi’ar Islam, pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan qanun ini.
b)      Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah/lingkungan lainnya.
c)      Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukupalasan telah terjadinya pelanggaran terhadap qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah), diberi wewenang untuk menegur/menasehati si pelanggar.
d)     Setelah upaya menegur/menasehati dilakukan sesuaia dengan ayat(3) di atas, ternyata perilaku si pelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik.
e)      Susunan organisasi, kewenangan dan tata kerja Wilayatul Hisbahdiatur dengan keputusan Gubernur setelah mendengar pertimbangan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama).[3]
Mengenai tugas dan kewenangan Wilayatul Hisbah juga disebutkan dalam qanun No. 12 Tahun 2003 yang dalam Pasal 17 menyebutkan bahwa:

1.      Dalam melaksanakan fungsi pengawasan pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 16 yang mengetahui pelaku pelanggaran terhadap larangan sebagai mana dimaksud dalam pasall 5 sampai Pasal 8, menyampaikan laporan tertulis kepada penyidik.
2.      Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkan laporan kepada penyidik.
3.      Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan sebagai mana dimaksud dalam ayat (2).

3.      MAHKAMAH SYARI’AH
Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh merupakan kelanjutan serta kesempurnaan terhadap yang telah diatur oleh Undang-undang No. 44 tahun 1999, dalam konsideran huruf  (c) disebutkan  : ”bahwa pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagaiprovinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.[4]
Dalam Pasal 25 UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam juga disebutkan:

1.      Peradilan Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamsebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syari’ah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
2.      Kewenangan Mahkamah Syari’ah sebagaimana yang dimaksuddalam ayat (1) didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3.      Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Pada Pasal terserbut jelas ada tambahan pada ”keistimewaan” Aceh.
Yakni,  adanya lembaga peradilan khusus untuk melaksanakan syari’at Islam yaitu Mahkamah Syari’ah sebagai lembaga peradilan tingkat I dan Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai lembaga peradilan tingkat banding.
Lembaga (Mahkamah) inilah yang berwenang melaksanakan syari’at Islam untuk umat Islam di Aceh baik tingkat I maupun tingkat banding.
Sedang untuk kasasi tetap dilakukan oleh Mahkkamah Agung.  Demikian juga tentang sengketa kewenangan UU No. 18 Pasal 26 ayat (2) yang berbunyi “Mahkamah Syari’ah untuk tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung RI”mengadili antara Mahkamah Syari’ah dengan lembaga peradilan lain. Mengenai kewenangan Mahkamah Syari’ah, UU No. 18 Tahun 2001 menyerahkan pada qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tentang Peradilan Syari’at Islam yang diatur dalam Qanun No. 10 Tahun 2002, dalam Pasal 49 menyebutkan bahwa perkara-perkara dibidang perdata yang meliputi hukum kekeluargaan, hukum perikatan dan hukum harta benda serta perkara-perkara dibidang pidana yang meliputi; Qishas-Diyat, Hudud dan Ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syari’ah.[5]

a.      Tugas dan wewenang Mahkamah Syari’ah
Sebagai implementasian Undang-undang di atas, mengenai tugas dan wewenang Mahkamah Syari’ah diatur dalam qanun tersendiri yakni Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam.
ü  Dalam Pasal 2 ayat (1) :disebutkan bahwa Mahkamah Syari’ahadalah lembaga peradilan yang dibentuk dengan qanun ini sertamelaksanakan syari’at Islam dalam wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
ü  dalam ayat (2) pelaksanaan kewenangan MahkamahSyariah bebas dari pengaruh pihak manapun,
ü  sedangkan ayat (3)dijelaskan bahwa Mahkamah Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada.
ü  Pasal 27 UU No. 18 Tahun 2001 Berbunyi “sengketa-sengketa antara Mahkamah Syari’ah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain, menjadi wewenang Mahkamah Agung RI untuk tingkat pertama dan tingkat akhir”.[6]

b.      Tingkatan Mahkamah Syari’ah
1.      Mahkamah Syari’ah sebagai pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di masing-masing kabupaten/kota;
2.      Mahkamah Syariah Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi.

4.      MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU)
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan lembaga sebagai penasehat yang memberi saran, pertimbangan kepada pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) dan sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kebijakan daerah, baik bidang pemerintahan, pembangunan maupun pembinaan kemasyarakatan serta tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang islami.
MPU mempunyai kedudukan yang bebas dan tidak tergantung pada Kepala Daerah dan DPRD atau kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat.Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, MPU mempunyai hak dan kewajiban berupa ;

ü  MPU berhak mengajukan usul kepada pemerintahan daerah (Eksekutif dan legislatif). Kedua, MPU berkewajiban memberi masukan, pertimbangan dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat Islam secara kaffah serta memberi jawaban atas pertanyaan kepala daerah. 
a.      Tugas MPU Ditingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota
1.      Tugas MPU ditingkat Propinsi
a)      Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at Islam.
b)      Melakukan pengawasn  terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan  syari’at Islam.
c)      Melakukan penelitian, pengembangan, penerjemahan, penerbitan, dan  pendokumentasian terhadap naskah-naskah yang berkenaan dengan syari’at Islam
d)     Melakukan pengkaderan ulama.
2.      Tugas MPU ditingkat Kabupaten/kota
a)      Memberi masukan, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah Kabupaten/kota dan DPRK dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at islam .
b)      Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan syari’at islam.
c)      Melakukan pengkaderan ulama.
d)     Melakukan pemantauan dan kajian terhadap dugaan adanya penyimpangan kegiatan Keagamaan yang meresahkan masyarakat serta melaporkannya kepada MPU.     

b.      Kedudukan MPU 
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan lembaga yang bersifat Independen dan merupakan mitra kerja Pemerintahan Aceh. Secara legal formal keberadaan MPU di Aceh merujuk pada Pasal 18 B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu:
a)      Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
b)      Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.[7]

5.      Lembaga Kepolisian
Lembaga Kepolisian di sini adalah lembaga kepolisian yang terdapat di Nanggroe Aceh Darussalam. Lembaga Kepolisian mempunyai peran pada proses peradilan dalam rangka melaksanakan syari’at Islam di Aceh.
Lembaga Kepolisian yang ada di Aceh haruslah mengerti dan memahami karakter kebiasaan dan budaya yang tumbuh dan berkembang di Aceh.
Dalam Pasal 207 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang  Pemerintahan  Aceh menyebutkan bahwa seleksi untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia di Aceh dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh dengan memperhatikan ketentuan hukum, syari’at Islam dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan Gubernur Aceh. Dan ayat (4) penempatan bintara dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Aceh ke Kepolisian Aceh dilaksanakan atas keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan ketentuan hukum,  syari’at Islam, budaya dan adat istiadat.
Kepolisian bertugas untuk melakukan penyidikan dalam hal terjadinya tindakan pelanggaran terhadap qanun-qanun yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam, yang dalam hal ini di perbantukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang berwenang untuk itu.
Dalam Pasal 1 ayat
1)      Keputusan Bersama Gubernur, Kepala Kepolisian daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi,  Ketua Mahkamah Syari’ah Provinsi,  Ketua Pengadilan Tinggi dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakimandan Hak Asasi Manusia Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, menyatakan bahwa Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam mendidik, membina dan mengkoordinasikan operasional PPNS Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan menerima hasil penyidikan perkara pelanggaran qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, danmenerima hasil penyidikan dari PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang selanjutnya menyerahkan berkas perkara kepada kejaksaan atau Mahkamah Syari’ah.
2)      Kepolisian Aceh membantu melakukan penyidikkan terhadap perkarapelanggaran qanun-qanun di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

6.      Lembaga Kejaksaan.
Lembaga Kejaksaan merupakan Lembaga Kejaksaan yang berada di bawah naungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Kejaksaan bertugas melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukum temasuk pelaksanaan syari’at Islam.Wewenang jaksa di Aceh sama halnya dengan wewenang jaksa yang diatur dalam Undang-undang, yaitu melakukan penuntutan terhadap perkara pidana terhadap pelanggaryang melanggar ketentuan pidana yang diatur dalam qanun dan melakukan eksekusi terhadap keputusan hakim setelah mempunyai kekuatan hukum tetap.


BAB III
PENUTUP
1.KESIMPULAN
            Adapun kesimpulan yang dapat kita pahami secara garis besar, dengan adanya penulisan makalah ini ialah :
a.       ada 6 lembaga yang berperan penting dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh,adapun  keemam lembaga tersebut yakni :
ü  DINAS SYARI’AH
ü  MAHKAMAH SYARI’AH
ü  WILAYATUL HISBAH (WH)
ü  MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU)
ü  LEMBAGA KEPOLISIAN
ü  LEMBAGA KEJAKSAAN
b.      6 lembaga diatas dalam penerapan syariat islam diAceh memiliki tugas dan wewenang yang berbeda-beda. Namun dalam pelaksanaan dilapangan mereka saling membutuhkan dan tugas mereka saling berhubungan satu lembaga dengan yang lain.
2.SARAN
            Untuk kita para mahasiswa, Pelaksanaan Syariat islam di Aceh sangatlah perlu kita dukung dan kita bantu. Lembaga-lembaga yang ada juga membutuhkan masarakat sebagai pelaksana dan pembina dari aturan syariat yang telah ada. Jadi, dengan adanya makalah ini penulis sangat berharap kita tau dan mengerti apa tugas dan wewenag lembaga-lembaga pelaksana syariat islam di Aceh,  Agar kita dapat menjadi pengawas dari seluruh pelaksanaan syariat islam yang terjadi ditengah-tengah masarakat.








DAFTAR PUSTAKA
Musa, Muhammad.Yusuf .islam : suatu kajian komprehensif.rajawali press.Jakarta. 1998.

Nurhafni dan maryam.pro dan kontra penerapan syariat islam di NAD. Jakarta. 2006.

Idris, Safwan. Syariat di Wilayah Syariat. Aceh. Yayasan Ulul Urham. 2002

Muhammad,Rusjdi.Ali.Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh. Ciputat .Logos Wacana Ilmu. 2003.
Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang – Undang keputusan Presiden Peraturan Daerah / Qanun Intruksi Gubernur Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. Aceh.2008.

 



[1] Muhammad Yusuf Musa, islam: suatu kajian komprehensif.rajawali press.Jakarta. 1998, hlm : 3
[2] Nurhafni dan maryam,pro dan kontra penerapan syariat islam di NAD, Jakarta. 2006, hlm : 3
[3] Safwan Idris. Syariat di Wilayah Syariat. Aceh : Yayasan Ulul Urham. 2002.hlm
[4] Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang – Undang keputusan Presiden Peraturan Daerah / Qanun Intruksi Gubernur Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. Aceh.2008.
[5] Rusjdi Ali Muhammad. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh. Ciputat : Logos Wacana Ilmu. 2003. hlm XXXVI
[6] Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang – Undang keputusan Presiden Peraturan Daerah / Qanun Intruksi Gubernur Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. Aceh.2008.hlm 40
[7] Safwan Idris. Syariat di Wilayah Syariat. Aceh : Yayasan Ulul Urham. 2002.hlm
 

1 komentar:

  1. 'Horses n go through their lives - Vimeo
    “Horses n go through their lives” best youtube to mp3 was uploaded by the online racing group Racing Post. “Horses n go through their lives” by the online racing group

    BalasHapus