Makalah
LEMBAGA-LEMBAGA
PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
DI
SUSUN
O
L
E
H
SELAMAT
ARIGA
NIM
: 150104030
MK
: STUDI SYARIAT ISLAM DI ACEH
HUKUM
PIDANA ISLAM
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI AR-RANIRY BANDA ACEH
1438
H / 2016 M
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Syari’at
Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.Pelaksanaan
Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Adapun
aspek-aspek pelaksanaan Syari’at Islam adalah seperti terdapat dalam Perda
Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Bab
IV Pasal 5 ayat 2, yaitu: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, Pendidikan
dandakwah Islamiyah/amar makruf anhi munkar, Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar
Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan Mawaris.
Dalam
perjalanan Syariat Islam di Aceh, jika dibandingkan dengan daerah lain di
Indonesia, maka Aceh memiliki keunikan karena masyarakatnya mampu menyerap budaya
dan menyesuaikan diri. Dalam konsiderans UU no. 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menempatkan ulama
pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Contohnya, para ulama di Aceh mendapatkan tempat yang istimewa dalam
hal memberikan pandangan-pandangan, saran-saran, dan masukan-masukan untuk
menetapkan suatu kebijakan. Hal tersebut tidak didapatkan para ulama di daerah
lain.
Maka dari
itu perlu rasanya kita mengetahui tentang lembaga-lembaga yang terkait atau
berperan penting terhadap pelaksanaan syariat islam di Aceh.
2. Rumusan Masalah
1.
Lembaga apa saja yang berperan dalam pelaksanaan
syariat islam di Aceh ?...
2.
Apa peran dari lembaga-lembaga tersebut terhadap
pelaksanaaan syariat islam di Aceh ?...
3. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
Lembaga apa saja yang berperan dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh
2.
Untuk mengetahui Apa peran dari lembaga-lembaga
tersebut terhadap pelaksanaaan syariat islam di Aceh
BAB II
PEMBAHASAN
A. SYARIAT ISLAM DI ACEH
Syariat ( legislasi ) adalah semua
peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk kaum muslimin, baik yang
ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul.[1]
Menurut Ali dalam Nurhafni dan
Maryam (2006:61) syariat islam secara harfiah adalah jalan(ketepian mandi),
yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslum, syariat
merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya,
baik berupa larangan maupunsuruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.[2]
Jadi,dapat disimpulkan bahwa syariat
islam merupakan keseluruhan peraturan atau hukumyang mengatur tata hubungan
manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia denganalam
(lingkungannya), baik yang diterapkan dalam AL-qur’an maupun hadis dengan
tujuan terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup umat manusia di dunia dan di
akhirat.Dalam hunbungannya dengan syariat islam yang berlaku di aceh, dapat
dijelaskan lembaga-lembaga yang memiliki wewenang dalam penerapan syariat islam
di aceh sebagai berikut :
B.
LEMBAGA-LEMBAGA PELAKSANA SYARI’AT ISLAM DI ACEH
1.
DINAS SYARIAT ISLAM
Dinas
Syariat Islam ini merupakan merupakan perangkat daerah sebagai unsur pelaksana syari’at Islam di lingkungan
Pemerintah Aceh yang kedudukannya berada di bawah Gubernur. Dinas ini
dipimpin oleh seorang Kepala dinas yang berada dibawah dan bertanggung-jawab kepada Gubernur
melalui Sekretaris Daerah.
Dinas
syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 feb 2002. Lembaga inilah
yangmengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Tugas utamanya adalah menjadi
perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di Aceh.
a.
Dinas Syariat Islam mempunyai fungsi:
1.
Sebagai pelaksana
tugas yang berhubungan dengan perencanaan,penyiapan kanun yang berhubungan
dengan pelaksanaan syari’at Islam serta mendokumentasikan dan menyebarluaskan
hasilhasilnya.
2.
Pelaksanaan tugas
yang berhubungan dengan penyiapan dan pembinaan sumber daya
manusia yang berhubungan denganpelaksanaan Syari’at Islam.
3.
Pelaksanaan tugas
yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban
pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya sertapenyemarakan syi’ar Islam.
4.
Pelaksanaan tugas
yang berhubungan dengan bimbingan danpengawasan terhadap pelaksanaan Syariat
Islam ditengah-tengahmasyarakat, dan
5.
Pelaksanaan tugas
yang berhubungan bimbingan dan danpenyuluhan syari’at Islam.
b.
Kewenangan Dinas
syariat islam
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di
atas Dinas Syariat Islam mempunyai kewenangan:
1.
Merencanakan program
penelitian dan pengembangan unsur-unsur syari’at Islam.
2.
Melestarikan
nilai-nilai Islam
3.
Mengembangkan dan
membimbing pelaksanaan syari’at Islam yang meliputi
bidang-bidang aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak,pendidikan dan dakwah
Islamiyah, amar ma’ruf nahi munkar, baitulmal, kemasyarakatan, syari’at Islam,
pembelaan islam, qadha,jinayat, munakahat dan mawaris.
4.
Mengawasi terhadap
pelaksanaan syari’at Islam
5.
Membina dan mengawasi
terhadap Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ).
2.
WILAYATUL HISBAH
(WH)
Qanun
tentang penyelenggaraan syari’at Islam di bidang aqidah, ibadah dan
syi’ar Islam mengamanatkan pembentukan Wilayatul Hisbah (WH), sebagai badan yang melakukan pengawasan, pemberi ingat dan pencegahan atas
pelanggaran syari’at Islam.
Mengenai struktur,
kewenangan ataupun mekanisme kerja badan ini akan ditetapkan
dengan peraturan lain yang diatur dalam qanun.
Dalam Fiqh WH merupakan satu
badan pengawasan yang bertugas melakukan amar Ma’rufnahi munkar, mengingatkan
masyarakat mengenai aturan-aturan syari’at, langkah yang harus mereka ambil untuk menjalankan syari’at serta batas
dimana orang-orang harus berhenti. Sebab kalau mereka terus berbuat mereka akan dianggap melanggar
ketentuan syari’at. Dalam keadaan terpaksa atau sangat
mendesak, WH diberi izin melakukan tindakan untuk menghentikan pelanggaran serta melakukan tindakan yang dapat menghentikan upaya pelanggaran atau sebaliknya mengarahkan orang-orang agar melakukan
ajaran dan perintah syari’at.
Dalam Keputusan
Gubernur Provinsi Aceh Nomor 01 Tahun 2004 Tentang Organisasi dan tata cara
Kerja
a. Tingkatan-tingkatan Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah dalam Bab II Pasal 2 menyebutkan
bahwa susunan organisasi Wilayatul Hisbah, terdiri atas;
1.
Wilayatul Hisbah
Tingkat Provinsi;
2.
Wilayatul Hisbah
Tingkat Kabupaten/Kota;
3.
Wilayatul Hisbah
Tingkat Kecamatan, dan
4.
Wilayatul Hisbah
Tingkat Kemukuman.
Susunan
WH Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan, terdiri
atas ketua, wakil ketua dan sekretaris sertamuhtasib, yang
pengangkatannya dilakukan oleh Gubernur, Bupati/Walikota.
Mengenai
susunan WH tingkat kemukiman terdiri dari seorang
koordinator dan beberapa orang muhtasib, yang bertugas di gampong-gampong dan diangkat oleh Bupati/Walikota
dan pengangkatan muhtasib ini terlebih dahulu
dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
setempat.
Wilayatul
Hisbah menekankan pada ajaran untuk melakukan perbuatan baik (amar
ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi227 Pasal 3 ayat (1, 2 dan 3)
Keputusan Gubernur Provinsi Aceh Nomor 01Tahun 2004 Tentang Organisasi dan tata
cara Kerja Wilayatul Hisbah.munkar, untuk mengharap ridha Allah, bukan
untuk menjatuhkan hukuman dan sekedar ketertiban masyarakat. Jadi
dimensi moralnya relatif sangat menonjol.
b. Pembahagian badan Wilayatul Hisbah
Selain
Wilayatul Hisbah dalam kitab fiqih (kitab-kitabassiyasatu-sy syar’iyyah)
dikenal dua badan lain yang mempunyai otoritas untuk
penegakan hukum yaitu:
1. Wilayat-ul qadha,
yaitu lembaga atau badan
yang berwenangmenyelesaikan sengketa antara sesama rakyat (sekaranglebih
dikenal sebagai lembaga pengadilan atau badan arbitrase).
2. Wilayat-ul mazhalim,
yaitu lembaga atau badan yang berwenang sengtketa antara pejabat (dalam hal penyalah-gunaan jabatan) dengan rakyat, atau antara bangsawan dengan rakyat biasa.
Kewenangan ini biasanya dipegang langsung oleh khalifah sebagai kepala negara (kepala pemerintahan), atau diserahkan kepada gubernur, kepala suku, dsb.
Kewenangan
ini ada pada mereka karena para pejabat atau para bangsawan tersebut tidak mau
menghadap pengadilan, dan lebih dari itu sering pengadilan tidak mempunyai cukup wewenang untuk memaksa menghukum mereka. Sebagai lembaga baru atau baru diperkenalkan
di Aceh, lembaga yang terinspirasi dari ketentuan dan keberadaannya dalam sejarah umat Islam di masa lalu.
Lembaga
ini sebenarnya mempunyai tugas dan kewenangan yang hampir sama dengan Polisi
Khusus, SatuanPolisi Pamong Praja (SATPOL PP) atau juga Penyidik Pegawai
NegeriSipil (PPNS).
c. Tugas dan wewenang WH
Keberadaan
Wilayatul Hisbah sebagai pengawas dan pengontrol dicantumkan
dalam beberapa qanun. Sebagai mana,.dalam Perda No 5 Tahun 2000, dalam Bab VI
(Tentang Pengawasandan Penyidikan) Pasal 20 ayat (1) menyebutkan : ”Pemerintah daerah
berkewajiban membentuk badan yang berwenang mengontrol
dan mengawasi (Wilayatul Hisbah) pelaksanaan
ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah inisehingga dapat berjalan dengan
sebaik-baiknya”.
Selain
itu, di dalam Qanun No. 11 Tahun 2002, dalam Pasal 14 (Bab VI, Pengawasan Penyidikan dan Penuntutan), disebutkan
bahwa :
a)
untuk terlaksananya
syari’at Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syi’ar Islam,
pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk Wilayatul Hisbah yang
berwenangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
qanun ini.
b)
Wilayatul Hisbah
dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan
atau wilayah/lingkungan lainnya.
c)
Apabila dari hasil
pengawasan yang dilakukan Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukupalasan telah terjadinya pelanggaran
terhadap qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah), diberi wewenang
untuk menegur/menasehati si pelanggar.
d)
Setelah upaya
menegur/menasehati dilakukan sesuaia dengan ayat(3) di atas, ternyata perilaku
si pelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan kasus pelanggaran
tersebut kepada pejabat penyidik.
e)
Susunan organisasi,
kewenangan dan tata kerja Wilayatul Hisbahdiatur dengan keputusan Gubernur
setelah mendengar pertimbangan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama).[3]
Mengenai tugas dan
kewenangan Wilayatul Hisbah juga disebutkan dalam
qanun No. 12 Tahun 2003 yang dalam Pasal 17 menyebutkan bahwa:
1.
Dalam melaksanakan
fungsi pengawasan pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 16 yang mengetahui pelaku pelanggaran terhadap larangan sebagai mana dimaksud dalam pasall 5 sampai Pasal 8, menyampaikan laporan tertulis kepada
penyidik.
2.
Dalam melaksanakan
fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkan laporan kepada penyidik.
3.
Pejabat Wilayatul
Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan sebagai mana dimaksud dalam ayat (2).
3.
MAHKAMAH SYARI’AH
Undang-undang
No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh merupakan kelanjutan serta kesempurnaan terhadap yang telah diatur oleh Undang-undang No. 44 tahun 1999,
dalam konsideran huruf (c) disebutkan : ”bahwa pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagaiprovinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.[4]
Dalam Pasal 25 UU No.
18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Nanggroe Aceh Darussalam juga disebutkan:
1. Peradilan Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalamsebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah
Syari’ah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
2. Kewenangan Mahkamah Syari’ah sebagaimana yang
dimaksuddalam ayat (1) didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
3. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Pada
Pasal terserbut jelas ada tambahan pada ”keistimewaan” Aceh.
Yakni, adanya lembaga peradilan khusus untuk melaksanakan syari’at Islam
yaitu Mahkamah Syari’ah sebagai lembaga peradilan tingkat I dan
Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai lembaga peradilan tingkat banding.
Lembaga
(Mahkamah) inilah yang berwenang melaksanakan syari’at
Islam untuk umat Islam di Aceh baik tingkat I maupun tingkat
banding.
Sedang untuk kasasi
tetap dilakukan oleh Mahkkamah Agung. Demikian juga
tentang sengketa kewenangan UU No. 18 Pasal 26 ayat (2) yang berbunyi “Mahkamah
Syari’ah untuk tingkat kasasi dilakukan
pada Mahkamah Agung RI”mengadili antara
Mahkamah Syari’ah dengan lembaga peradilan lain. Mengenai
kewenangan Mahkamah Syari’ah, UU No. 18 Tahun 2001 menyerahkan pada
qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tentang
Peradilan Syari’at Islam yang diatur dalam Qanun No. 10 Tahun 2002, dalam Pasal 49 menyebutkan bahwa
perkara-perkara dibidang perdata yang meliputi hukum kekeluargaan,
hukum perikatan dan hukum harta benda serta perkara-perkara dibidang
pidana yang meliputi; Qishas-Diyat, Hudud dan Ta’zir sebagai
kewenangan Mahkamah Syari’ah.[5]
a.
Tugas dan wewenang Mahkamah Syari’ah
Sebagai
implementasian Undang-undang di atas, mengenai tugas dan wewenang
Mahkamah Syari’ah diatur dalam qanun tersendiri yakni Qanun No. 10
Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam.
ü
Dalam Pasal 2 ayat
(1) :disebutkan bahwa Mahkamah Syari’ahadalah lembaga
peradilan yang dibentuk dengan qanun ini sertamelaksanakan syari’at Islam dalam
wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
ü
dalam ayat (2)
pelaksanaan kewenangan MahkamahSyariah bebas dari pengaruh pihak manapun,
ü
sedangkan ayat
(3)dijelaskan bahwa Mahkamah Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama
yang telah ada.
ü
Pasal 27 UU No. 18
Tahun 2001 Berbunyi “sengketa-sengketa antara Mahkamah Syari’ah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan
lain, menjadi wewenang Mahkamah Agung
RI untuk tingkat pertama dan tingkat akhir”.[6]
b.
Tingkatan Mahkamah Syari’ah
1. Mahkamah Syari’ah sebagai pengadilan tingkat pertama
yang berkedudukan di masing-masing kabupaten/kota;
2. Mahkamah Syariah Propinsi sebagai pengadilan tingkat
banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi.
4.
MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU)
Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) merupakan lembaga sebagai penasehat yang memberi
saran, pertimbangan kepada pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) dan
sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kebijakan daerah, baik bidang
pemerintahan, pembangunan maupun pembinaan kemasyarakatan serta tatanan hukum
dan tatanan ekonomi yang islami.
MPU mempunyai kedudukan yang bebas
dan tidak tergantung pada Kepala Daerah dan DPRD atau kekuatan-kekuatan sosial
dalam masyarakat.Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, MPU mempunyai hak dan
kewajiban berupa ;
ü MPU berhak
mengajukan usul kepada pemerintahan daerah (Eksekutif dan legislatif). Kedua,
MPU berkewajiban memberi masukan, pertimbangan dalam menentukan kebijakan
daerah dari aspek syariat Islam secara kaffah serta memberi jawaban atas
pertanyaan kepala daerah.
a. Tugas MPU
Ditingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota
1. Tugas MPU
ditingkat Propinsi
a)
Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada
Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at Islam.
b)
Melakukan pengawasn terhadap
penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan syari’at
Islam.
c)
Melakukan penelitian, pengembangan, penerjemahan,
penerbitan, dan pendokumentasian terhadap naskah-naskah yang berkenaan
dengan syari’at Islam
d)
Melakukan pengkaderan ulama.
2. Tugas MPU
ditingkat Kabupaten/kota
a)
Memberi masukan, pertimbangan, dan saran kepada
pemerintah Kabupaten/kota dan DPRK dalam menetapkan kebijakan berdasarkan
syari’at islam .
b)
Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan syari’at islam.
c)
Melakukan pengkaderan ulama.
d)
Melakukan pemantauan dan kajian terhadap dugaan adanya
penyimpangan kegiatan Keagamaan yang meresahkan masyarakat serta melaporkannya
kepada MPU.
b. Kedudukan
MPU
Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) merupakan lembaga yang bersifat Independen dan merupakan mitra
kerja Pemerintahan Aceh. Secara legal formal keberadaan MPU di Aceh merujuk
pada Pasal 18 B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu:
a) Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
b) Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.[7]
5. Lembaga Kepolisian
Lembaga
Kepolisian di sini adalah lembaga kepolisian yang terdapat di Nanggroe
Aceh Darussalam. Lembaga Kepolisian mempunyai peran pada
proses peradilan dalam rangka melaksanakan syari’at Islam di Aceh.
Lembaga
Kepolisian yang ada di Aceh haruslah mengerti dan memahami karakter kebiasaan
dan budaya yang tumbuh dan berkembang di Aceh.
Dalam
Pasal 207 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa seleksi untuk menjadi bintara dan
perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia di Aceh
dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh dengan memperhatikan ketentuan hukum,
syari’at Islam dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan
Gubernur Aceh. Dan ayat (4) penempatan bintara dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Aceh ke Kepolisian Aceh
dilaksanakan atas keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan memperhatikan ketentuan hukum, syari’at Islam, budaya dan adat istiadat.
Kepolisian
bertugas untuk melakukan penyidikan dalam hal terjadinya tindakan
pelanggaran terhadap qanun-qanun yang ada di Nanggroe Aceh
Darussalam, yang dalam hal ini di perbantukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang berwenang untuk
itu.
Dalam Pasal 1 ayat
1) Keputusan Bersama Gubernur, Kepala Kepolisian daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, Ketua Mahkamah Syari’ah Provinsi, Ketua Pengadilan Tinggi dan Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehakimandan Hak Asasi Manusia Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, menyatakan bahwa Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam mendidik, membina dan mengkoordinasikan operasional
PPNS Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan menerima hasil
penyidikan perkara pelanggaran qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, danmenerima hasil penyidikan dari PPNS (Penyidik Pegawai Negeri
Sipil) yang selanjutnya menyerahkan berkas perkara kepada kejaksaan atau Mahkamah Syari’ah.
2) Kepolisian Aceh membantu melakukan
penyidikkan terhadap perkarapelanggaran qanun-qanun di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
6. Lembaga Kejaksaan.
Lembaga
Kejaksaan merupakan Lembaga Kejaksaan yang berada di bawah naungan Kejaksaan
Agung Republik Indonesia, yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Kejaksaan
bertugas melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukum temasuk
pelaksanaan syari’at Islam.Wewenang jaksa di Aceh sama halnya dengan wewenang
jaksa yang diatur dalam Undang-undang, yaitu melakukan penuntutan terhadap
perkara pidana terhadap pelanggaryang melanggar ketentuan pidana yang diatur
dalam qanun dan melakukan eksekusi terhadap keputusan hakim setelah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
BAB III
PENUTUP
1.KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat kita pahami secara garis
besar, dengan adanya penulisan makalah ini ialah :
a.
ada 6 lembaga yang berperan penting
dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh,adapun
keemam lembaga tersebut yakni :
ü DINAS
SYARI’AH
ü MAHKAMAH
SYARI’AH
ü WILAYATUL
HISBAH (WH)
ü MAJELIS
PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU)
ü LEMBAGA
KEPOLISIAN
ü LEMBAGA
KEJAKSAAN
b.
6 lembaga diatas dalam penerapan syariat
islam diAceh memiliki tugas dan wewenang yang berbeda-beda. Namun dalam
pelaksanaan dilapangan mereka saling membutuhkan dan tugas mereka saling
berhubungan satu lembaga dengan yang lain.
2.SARAN
Untuk kita para mahasiswa, Pelaksanaan Syariat islam di
Aceh sangatlah perlu kita dukung dan kita bantu. Lembaga-lembaga yang ada juga
membutuhkan masarakat sebagai pelaksana dan pembina dari aturan syariat yang
telah ada. Jadi, dengan adanya makalah ini penulis sangat berharap kita tau dan
mengerti apa tugas dan wewenag lembaga-lembaga pelaksana syariat islam di Aceh, Agar kita dapat menjadi pengawas dari seluruh
pelaksanaan syariat islam yang terjadi ditengah-tengah masarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Musa, Muhammad.Yusuf .islam : suatu kajian komprehensif.rajawali
press.Jakarta. 1998.
Nurhafni dan maryam.pro dan kontra penerapan syariat islam di NAD. Jakarta. 2006.
Idris, Safwan. Syariat di Wilayah Syariat. Aceh.
Yayasan Ulul Urham. 2002
Muhammad,Rusjdi.Ali.Revitalisasi
Syari’at Islam di Aceh. Ciputat .Logos Wacana Ilmu. 2003.
Dinas Syariat Islam. Himpunan
Undang – Undang keputusan Presiden Peraturan Daerah / Qanun Intruksi Gubernur
Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. Aceh.2008.
[2] Nurhafni dan maryam,pro dan kontra penerapan syariat
islam di NAD, Jakarta. 2006, hlm : 3
[3] Safwan Idris. Syariat di Wilayah Syariat. Aceh
: Yayasan Ulul Urham. 2002.hlm
[4] Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang – Undang
keputusan Presiden Peraturan Daerah / Qanun Intruksi Gubernur Edaran Gubernur
Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. Aceh.2008.
[5] Rusjdi Ali Muhammad. Revitalisasi Syari’at Islam di
Aceh. Ciputat : Logos Wacana Ilmu. 2003. hlm XXXVI
[6] Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang – Undang
keputusan Presiden Peraturan Daerah / Qanun Intruksi Gubernur Edaran Gubernur
Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. Aceh.2008.hlm 40
[7] Safwan Idris. Syariat di Wilayah Syariat. Aceh
: Yayasan Ulul Urham. 2002.hlm
'Horses n go through their lives - Vimeo
BalasHapus“Horses n go through their lives” best youtube to mp3 was uploaded by the online racing group Racing Post. “Horses n go through their lives” by the online racing group